Lagi, berita KDRT terhadap perempuan mulai
muncul lagi. Kali ini menimpa Artis Cornelia Agatha yang mengaku mendapat
perlakuan kasardari mantan suaminya. Dan diapun menjelaskan bahwa sebenarnya
KDRT ini sudah dilakukan mantan suaminya sejak mereka masih pacaran.
Cukup mengejutkan mendengar apa yang ia katakan.
Sejak masih pacaran sudah menerima KDRT tapi tetap melanjutkan ke jenjang
pernikahan, kenapa dia mau? Mungkin dia tetap berfikir positif dengan beranggapan sifat
kasarnya akan berubah setelah mereka menikah. Tapi ternyata tidak. Saat menikahpun
ia masih mendapat perlakuan kasar dari sang suami. Dan dia tetap tidak
melaporkan hal itu pada pihak berwajib atau meminta bantuan pihak lain untuk
membantunya. Kembali dia berfikir positif bahwa seiring waktu sifat kasar
suaminya akan hilang dengan sendirinya. Dan alasan ini juga dipikirkan oleh sebagian
besar wanita korban KDRT lainnya juga dengan alasan masih mencintai pasangannya. Apakah
alas an masih mencintai pasangan dan memaafkannya bisa membuat perilaku kasar
pasangan ini berubah?? Ternyata tidak!! Kenyataannya hingga setelah bercerai
pun Cornelia masih mendapat perlakuan kasar dari sang mantan suami. Namun,
melaporkannya sekarang adalah keputusan yang tepat, tidak perlu lagi mentolelir
perlakuan yang ia terima dengan alasan apapun karena harusnya dia berhak
mendapatkan perlakuan yang positif dari orang yang ia sayangi.
Tapi Cornelia tidak sendiri, sebelumnya sudah
banyak yang menjadi korban KDRT yang akhirnya berani melaporkan kekerasan yang
ia alami, bahkan lebih banyak lagi yang belum sadar bahwa KDRT harus segera
dihentikan. Baik dari kalangan artis maupun orang awam seperti kita.
KDRT adalah fenomena yang terjadi hamper di
seluruh dunia, di semua tingkatan social dan bahkan seluruh tingkatan
pendidikan di Negara maju, dan berkembang. Dan sebagian besar korbannya adalah
perempuan, karena berdasarkan penelitian salah satu rekan saya ada juga korban
KDRT laki-laki. Walaupun itu hanya sebagian kecil saja..
Kenapa perempuan??
Ya, kenapa sebagian besar korban KDRT adalah
perempuan? Tidak perlu heran, hal ini dikarenakan adanya budaya patriarki yang
ada hampir di seluruh belahan dunia yang memunculkan pemikiran bahwa perempuan
memiliki kedudukan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perempuan yang dianggap
sebagai
mahluk lemah yang tidak mampu melakukan apapun, dilecehkan, dikucilkan dan
dikesampingkan, serta tidak mempunyai hak untuk menyuarakan apa yang ada dalam
pikirannya. Perempuan sering disalahkan atas setiap kejadian buruk yang terjadi
di keluarganya, di rumahtangganya. Pandangan-pandangan ini mempuat kaum
perempuan pasrah saat mendapat perlakuan yang kasar dari suaminya dan bahkan
mereka menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan oleh suaminya, karena
perlakuan itu disebabkan oleh dia sendiri. Sementara laki-laki dianggap
sebaliknya, yakni sebagai mahluk yang kuat,dapat melakukan apapun dan
sebagainya. Pandangan ini sudah berakar di benak para perempuan dan laki-laki
bahkan di era serba digital seperti sekarang.
Selain budaya patriarki, sebagian besar orangpun beranggapan kalau
KDRT adalah masalah pribadi rumahtangga yang tidak bisa dicampuri oleh orang
lain. Sehingga korban akan memendam sendiri apa yang mereka alami, tidak berani
melaporkannya pada pihak berwenang. Mereka dihantui ketakutan-ketakutan lain
bila mereka melaporkan perbuatan pasangannya pada pihak berwenang. Misalnya takut
akan memicu kemarahan yang membuatnya mendapatkan kekerasan lebih, membuka aib
keluarga sendiri, takut dianggap sebagai istri yang tidak sabar, kurang
pengertian, kurang tabah, tidak becus mengurus suami/keluarga, atau ketakutan
akan masalah ekonomi yang ditimbulkan setelah ia melaporkan kekerasan yang ia
alami. Juga ketakutan akan menjadi seorang janda setelah melapor, bahkan
ketakutan jika tidak ada yang mempercayai apa yang ia alami. Atau setelah melaporkan
tidak ada tindaklanjut yang dilakukan oleh pihak berwenang sehingga dia rsebut.
beranggapan kalau dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Padahal kasus
KDRT yang tidak ditindaklanjuti sebagian besar dikarenakan pihak kepolisian
kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti yang kuat untuk memproses kasus tersebut
misalnya hasil visum atau saksi.
Kekerasan dalam
rumah tangga ada bermacam-macam tidak hanya sekedar kekerasan yang berakibat secara
fisik saja. Misalnya kekerasan mental atau psikis akibatnya memang tidak jelas
karena kekerasannya bisa berupa mendapat perkataan kasar dengan intonasi yang tinggi, tingkah
laku yang posesive berlebihan, mengurung korban dirumah dan tidak memberikan
nafkah atau sumber kehidupan, “meracuni” konsep diri dan harga diri dengan
sikap dan kata-kata yang selalu negatif.
Lalu ada KDRT secara fisik, hal ini yang
paling sering dialami dan menjadi satu kesatuan dengan KDRT psikis. Kekerasan
fisik yang dilakukan pelaku bisa berupa
menampar, menendang, mendorong, meludahi, perkosaan, menyiram air keras dan
banyak lagi yang lainnya. Sedangkan KDRT seksual merupakan kekerasan didalam
berhubungan seksual, contohnya istri dipaksa melakukan hubungan seksual dan
akan dianaiaya bila tidak mau melaani suami. Suami melakukan hubungan seksual
secara kasar, menggunakan atau mengumpat dengan kata-kata kotor, pelecehan
moral. Suami memilki perilaku seksual yang menyimpang,seperti memasukkan benda
ke dalam kelamin istri, menyakiti istri terlebih dahulu sebelum berhubungan
sex.
Kekerasan-kekerasan yang diterima secara
terus-menerus akan berakibat secara ekonomi, fisik, dan social. Bekas luka yang
ia alami akan membuatnya menarik diri dari lingkungan social diapun akan
kehilangan rasa kepercayaan diri, dihantui ketakutan, merasa selalu terancam,
dan yang paling berbahaya adalah merasa tidak memiliki arti dalam hidupnya.
Oleh karenanya korban KDRT perlu mendapat
pendampingan dan dukungan dari orang terdekat atau lingkungan untuk tetap
menghargai atau mengembalikan harga dirinya. Agar ia tetap menghargai dirinya
untuk pantas mendapat perlakuan positif, bertindak positif, dan melatih kembali
hubungan interpersonalnya.
Dalam undang-undang
Negara Republik Indonesia sudah banyak pasal-pasal yang mengatur tentang
kekerasan dalam rumah tangga yang dari tahun ke tahun terus dikembangkan untuk
melindungi korban kekerasan asalkan mereka melaporkan. Disini saya tidak akan
menjelaskan undang-undang pasal berapa tahun berapa atau apa tuntutannya karena
saya bukan seorang ahli hokum. Begitu juga dengan banyaknya organisasi atau
gerakan-gerakan perempuan yang menangani KDRT yang selalu melindungi dan
memperjuangkan hak-hak perempuan yang menjadi korban kekerasan. Jadi sebaiknya
korban tidak perlu malu atau menunda-nunda untuk melaporkan KDRT yang ia alami.
Lalu apa yang
bisa kita lakukan saat kita mengetahui adanya perilaku KDRT di sekitar kita??
Untuk lepas dari
perilaku kekerasan ini memang kita tidak bisa membantu, karena korban sendiri
yang bisa memutuskan apakah ia akan tetap bertahan atau menghentikan kekerasan
yang ia alami apapun alasannya. Kita hanya bisa membantu memberikan pandangan
apa-apa saja yang harus dia lakukan bila ingin berhenti mendapat perlakuan
kasar. Misalnya mengumpulkan dan menyimpan bukti-bukti konkret apa yang ia
alami baik dari dokter, atau berupa foto-foto bila ia ingin memproses kasusnya
secara hokum. Kita juga
bisa menjadi tempat yang bisa dipercaya tanpa menghakimi mereka dengan membantu
mereka mengumpulkan bukti dan melindungi saat mereka perlu perlindungan. Semakin
cepat kita menangani masalah KDRT maka hal itu akan membuat kita lebih
terselamatkan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Selalu ada harapan untuk menjadi lebih baik dan mendapatkan kebahagiaan
dengan atau tanpa orang yang kita sayangi.. sayangi diri sendiri dulu sebelum
kita belajar menyayangi orang lain..